Anak-Anak Kita Perlu Tayangan Berkualitas di Televisi
Sebuah Survei Mengatakan Perfilmman Indonesia Hanya 0,2% Untuk Membangun Artinya Kebanyakan Tidak Berguna Bagi Generasi Masa Kini.
Minggu pagi adalah waktu untuk menonton ragam acara anak. Biasanya, rutinitas dimulai sejak pukul 6 dengan menonton film kartun. Ada Doraemon, Ultraman, Satria Baja Hitam dengan belalang tempurnya, dan tentu: Detektif Conan.
Kegiatan di atas hal lumrah bagi generasi milenial seperti saya yang tumbuh pada era 1990 dan 2000-an. Bahkan, pada hari-hari kerja, sepulang sekolah kami masih bisa menikmati acara musik anak sepertiTralala Trilili yang memutar lagu-lagu anak paling populer. Trio Kwek-kwek, Tina Toon, Joshua, dan Agnes Monica merupakan sedikit dari sekian penyanyi anak yang kala itu melejit.
Saat libur sekolah, stasiun televisi kami diisi film bioskop seperti Petualangan Sherina dan Joshua Oh Joshua.
Namun, program anak semakin minim. Posisi tayangan-tayangan itu digantikan oleh acara hiburan remaja dan dewasa. Dilansir laman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), hasil kajian dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) menyatakan pada Mei 2018, jumlah acara anak hanya mencapai 40 program.
Jumlah ini mengalami penurunan dibanding program anak pada Mei 2014 yang berjumlah 48 program. Sementara itu, pada dekade 2000-an, yakni pada Mei 2009 ketika program anak masih wara-wiri di televisi, jumlahnya mencapai 68 program. Jumlah program anak di lembaga penyiaran dari tahun 2009 hingga tahun 2018 ini turun hingga 41 persen.
Tim riset Tirto berhasil mengumpulkan persentase program anak di beberapa stasiun televisi nasional. Trans7 memiliki 11 program anak dari 92 program mereka, terbanyak dibandingkan stasiun televisi lainnya. Namun, porsi tayangan anak di stasiun ini hanya sebesar 11,96 persen dari total program.
Baca juga:
Pada RTV, persentasenya lebih besar, 47,6 persen dari total program. Program anak yang dimiliki stasiun ini adalah 20 dari 42 program keseluruhan. Pada MNCTV, persentase program anak mencapai 24,24 persen dari total program. Stasiun ini memiliki 8 program dari total 33 program. Sementara itu, Global TV memiliki 5 program anak dari total 20 program, dengan presentasi 25 persen dari total program.
Lantaran jumlah program anak yang dinilai sangat kurang, KPI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyiapkan surat edaran bersama. Lembaga penyiaran diminta melakukan Program 1 (satu) Jam Siaran Khusus Anak di waktu tayang utama antara pukul 18.00 hingga 19.00 saat Peringatan Hari Anak Nasional pada 23 Juli 2018.
Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarinimengatakan program ini diluncurkan mengingat anak juga berhak mendapat acara khusus berkualitas. Tayangan yang dinikmati anak-anak harus mengandung nilai edukasi dan pesan moral positif. Pasal 72 ayat 5 Undang-undang Perlindungan Anak tentang hak anak dalam media menyatakan media berperan melakukan penyebarluasan informasi dan materi edukasi bermanfaat dari aspek sosial, budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
“Jumlah program acara anak di televisi saat ini tidak sebanding dengan jumlah anak di Indonesia yang mencapai angka 87 juta jiwa," ungkap Dewi dalam acara Fokus Grup Diskusi (FGD) tentang Anugerah Penyiaran Anak di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/5/2018).
Dengan jumlah potensi penonton anak yang sebanding dengan sepertiga jumlah penduduk Indonesia, acara anak anak saat ini dianggap masih kurang. Malah, mereka seakan dipaksa menikmati acara-acara yang tidak sesuai dengan umur lantaran minimnya pilihan acara anak. Padahal, jumlah penonton televisi untuk anak pada kategori Gen Z mencapai 95 persen dengan waktu menonton rata-rata 5 jam 18 menit per harinya.
Baca juga:
Bagi Anak, Tontonan adalah Tuntunan
Segerombolan anak perempuan berusia sekitar 10 tahunan menghadang seorang anak lainnya. Dengan satu tangannya, salah seorang dari gerombolan itu mendorong anak perempuan yang sendirian, tak memiliki sekutu. Agaknya ia marah karena pernah menjadi bahan perbincangan temannya.
“Elu kan yang ngomongin gue di perosotan?" tanyanya menantang.
Nukilan itu ada dalam video pelabrakan antar-anak yang sempat ramai dibincangkan. Adegan itu menjadi potret bagaimana penyiaran ramah anak belum bisa diwujudkan oleh lembaga penyiaran nasional era kiwari. Adegan perundungan, kekerasan, mistik, dan adegan untuk dewasa kerap mewarnai jam-jam utama. Tanpa sadar, anak-anak terpapar tayangan tak mendidik. Mereka berisiko meniru apa yang ditontonnya.
Kylie Rymanowicz, edukator Kehidupan Keluarga, peraih magister dalam bidang kehidupan keluarga dan pendidikan anak-anak dari North Carolina State University mengatakan bahwa anak-anak dapat mempelajari perilaku agresif dari sebuah pengamatan. Bisa melalui model hidup dengan pengamatan langsung yang dilakukan orang-orang di lingkungannya, tapi bisa juga melalui tontonan televisi atau program lain. Pola yang sama terjadi pada cara mereka mempelajari perilaku prososial dengan menyaksikan orang bekerja sama, berbagi, dan bergiliran.
“Batasi paparan negatif pada acara televisi, film, permainan, atau kegiatan agresif. Bahkan interaksi dengan anak lain dan orang dewasa terbukti menjadi pemodelan negatif untuk anak," katanya seperti dimuat laman resmi Universitas Michigan.
Tulisan Carrie Shrier dari Universitas Michigan menyatakan bahwa paparan televisi selama 20 detik saja dapat mempengaruhi perilaku balita. Mereka mengamati reaksi 120 anak berusia 14-24 yang dibagi dalam tiga kelompok.
Pertama, kelompok terpapar tayangan berisi model yang merusak mainan dengan gerakan berulang sebanyak tiga kali.
Kedua, kelompok dengan tayangan serupa, tapi tayangan dihentikan sebelum bagian merusak mainan.
Terakhir, kelompok tanpa paparan tayangan.
Hasilnya, 90 persen anak yang berusia 24 bulan dalam kelompok pertama meniru perilaku model yang merusak mainan, sedangkan pada kelompok kedua ada 20 persen yang merusak mainan.
Begitu juga pada responden anak berusia 14 bulan. Ada 65 persen anak pada kelompok pertama yang meniru adegan di layar. Sementara itu, hanya 30 persen anak di kelompok kedua yang ikut merusak mainan. Riset tersebut menunjukkan anak usia 14-24 bulan bisa menduplikasi apa yang mereka lihat, meskipun hanya di layar dan dilakukan oleh orang yang tidak mereka kenal.
Riset sederhana itu menunjukkan bahwa media visual berpengaruh besar terhadap perkembangan perilaku anak-anak. Bukanlah hal yang muluk-muluk jika lembaga penyiaran diharapkan dapat menayangkan kembali program yang sesuai untuk anak. Tak hanya pada Hari Anak Nasional saja, tapi seterusnya.
Tim Redaksi. Desman Ronaldo Sidabutar